Ini juga cerita dari jaman dulu kala. Terjadi di tahun 399 SM. Entah nyata, entah pula dongeng belaka. Tapi orang sekarang banyak yang percaya. Bahkan terus memuji dan menyanjung eposnya. Kisah tentang pengadilan Socrates. Pria inilah yang jadi bintang utama. Dia didakwa di pengadilan Athena. Cuma, tuduhannya menimbulkan tanda tanya. Karena dia dijerat dengan tudingan yang setengah mengada-ada. Socrates dianggap melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya. Cara berpikir Socrates itu yang membuat dia jadi pesakitan. Socrates dinilai menyebarkan misi dan praktek pengajaran menyesatkan. Filsuf-nya yang banyak membahas soal ketuhanan, dianggap nyeleneh oleh sebagian orang-orang. Karena Socrates mempertanyakan adanya dewa-dewi kahyangan. Sesuatu yang telah dianut sejak manusia era dulu.
Socrates pun diadili. Hampir seluruh warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi terdakwa sendiri. Dia dituntut oleh tiga orang prosekutor utama. Mereka juga pemikir tangguh di era itu. Anytus yang pertama. Seorang politisi demokratik kota itu. Meletus, penyair yang rajin mengungkap tragedi. Perawakannya memang seniman sekali. Mungkin gaya dia inilah yang sampai kini banyak ditiru kalangan seniman. Rambutnya gondrong, dan sedikit berjenggot. Lykon, retorisi, orator yang ulung. Mereka inilah yang mendakwa Socrates. Posisinya persis seperti penuntut umum.
Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan dipersidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Dia berdebat dengan tiga prosekutor tadi. Tapi, Socrates tak menyerah. Semangatnya makin merajalela kala seluruh orang menyimaknya. Socrates beretorika, memunculkan “kejujuran” sebagai nilai yang paling utama dari keseluruhan nilai yang diargumenkannya.
Saat itu, Socrates berkata panjang. Ini senjata yang dipakainya untuk melumat tiga prosekutor tadi. Tapi sampai kini, statment Socrates ini sangat dikenang dan diilhami. Begini katanya, “lantas apa dasar mereka (para juri itu) sampai pada giliran saya dimuliakan sebagai orang yang arif dan bijaksana dan termahsyur, sementara saya harus menerima reputasi sedemikian buruk seperti itu (sebagai perusak generasi muda)?”. Selepas berbicara, dia berbalik arah menuju para juri. Dia berkata pedas. Dia berceloteh bahwa sangat sakit sekali bila seluruh “pembual” di Athena begitu membencinya dan bersatu agar dia binasa.
Tapi, perlawanan terhadap Socrates bukan berkurang. Dia tetap dicerca dan dipojokkan. Persidangan makin ramai. Gemuruh karena antara terdakwa dan penuntut, saling berargumen dengan ilmu tingkat tinggi. Socrates berkata-kata lagi. “satu-satunya hal yang sangat disayangkan di sini adalah saya harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya perjuangkan dan persembahkan (untuk orang banyak) lewat praktek pengajaran filsuf saya ke generasi muda Athena..”. Sontak, pengadilan bergemuruh lagi. Riuh tepukan tangan bergelora seketika sebagai hadiah buat kalimatnya tadi.
Setelah seharian bersidang, giliran para juri beraksi. Mereka mengeluarkan putusan. Socrates duduk dikursi tengah dengan gagah. Wajahnya tak tertunduk atau pura-pura menitikkan air mata biar dikasihani. Dia tak menyerah sedikitpun. Karena baginya, yang penting adalah pengadilan tempat membersihkan diri dari segala fitnah dan tuduhan yang selama ini terjadi. Socrates malah berkata-kata, “Di alam kematian, aku bisa selamanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan filsafat kesetiap orang yang kujumpai”.
Ternyata jury memutus banyak yang berpihak padanya. Tanda-tanda Socrates bakal bebas, sudah didepan mata. Namun, sejumlah praktisi hukum, tersinggung dengan omongan Socrates tadi. Walau voting jury memenangkan Socrates, tapi dia tetap dihukum. Socrates di vonis mati.
Tapi, ada juga yang meriwayatkan lain. Kala vonis terjadi, Socrates disodori dua opsi. Dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya.
Namun Socrates memang gila. Dia memilih opsi yang pertama. Hidup bukan jadi barang berharga buatnya. Yang terpenting ajar prinsip yang mesti ditegakkan dengan benar. Para sahabatnya, bingung dengan pilihan Socrates tadi. Mereka tetap berusaha membebaskannya. Tapi dasar Socrates memang gila. Dia tak tergoda. Socrates tetap bersikeras hidup dalam penjara, dengan pilihannya tadi. Karena dia memegang teguh apa yang pernah diucapkan pada murid-muridnya. Katanya, “hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya”.
Waktu eksekusi, dilakukan dalam penjara. Eksekusi mati buatnya, tetap diberi pilihan agar dia bisa bebas dari hukuman. Racun disediakan dalam dua cawan. Petugas penjara menyodorinya tiga cawan. Socrates diminta membuat satu pilihan soal cawan yang harus diminumnya. Salah satu cawan, kosong tanpa racun. Dua lainnya, berarti racun yang harus ditenggak. Socrates pun memilih.
Dia sempat berpikir beberapa detik saja. Tiga cawan disusun berjejer tiga didepannya. Tangannya tanpa ragu memilih cawan yang ada disisi paling kanan. Setelah dibuka, ternyata isinya racun yang mesti ditenggak. Socrates bukan mundur. Racun itu tetap diminumnya. Socrates pun mati seketika. Karena, hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya.
Socrates pun diadili. Hampir seluruh warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi terdakwa sendiri. Dia dituntut oleh tiga orang prosekutor utama. Mereka juga pemikir tangguh di era itu. Anytus yang pertama. Seorang politisi demokratik kota itu. Meletus, penyair yang rajin mengungkap tragedi. Perawakannya memang seniman sekali. Mungkin gaya dia inilah yang sampai kini banyak ditiru kalangan seniman. Rambutnya gondrong, dan sedikit berjenggot. Lykon, retorisi, orator yang ulung. Mereka inilah yang mendakwa Socrates. Posisinya persis seperti penuntut umum.
Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan dipersidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Dia berdebat dengan tiga prosekutor tadi. Tapi, Socrates tak menyerah. Semangatnya makin merajalela kala seluruh orang menyimaknya. Socrates beretorika, memunculkan “kejujuran” sebagai nilai yang paling utama dari keseluruhan nilai yang diargumenkannya.
Saat itu, Socrates berkata panjang. Ini senjata yang dipakainya untuk melumat tiga prosekutor tadi. Tapi sampai kini, statment Socrates ini sangat dikenang dan diilhami. Begini katanya, “lantas apa dasar mereka (para juri itu) sampai pada giliran saya dimuliakan sebagai orang yang arif dan bijaksana dan termahsyur, sementara saya harus menerima reputasi sedemikian buruk seperti itu (sebagai perusak generasi muda)?”. Selepas berbicara, dia berbalik arah menuju para juri. Dia berkata pedas. Dia berceloteh bahwa sangat sakit sekali bila seluruh “pembual” di Athena begitu membencinya dan bersatu agar dia binasa.
Tapi, perlawanan terhadap Socrates bukan berkurang. Dia tetap dicerca dan dipojokkan. Persidangan makin ramai. Gemuruh karena antara terdakwa dan penuntut, saling berargumen dengan ilmu tingkat tinggi. Socrates berkata-kata lagi. “satu-satunya hal yang sangat disayangkan di sini adalah saya harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya perjuangkan dan persembahkan (untuk orang banyak) lewat praktek pengajaran filsuf saya ke generasi muda Athena..”. Sontak, pengadilan bergemuruh lagi. Riuh tepukan tangan bergelora seketika sebagai hadiah buat kalimatnya tadi.
Setelah seharian bersidang, giliran para juri beraksi. Mereka mengeluarkan putusan. Socrates duduk dikursi tengah dengan gagah. Wajahnya tak tertunduk atau pura-pura menitikkan air mata biar dikasihani. Dia tak menyerah sedikitpun. Karena baginya, yang penting adalah pengadilan tempat membersihkan diri dari segala fitnah dan tuduhan yang selama ini terjadi. Socrates malah berkata-kata, “Di alam kematian, aku bisa selamanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan filsafat kesetiap orang yang kujumpai”.
Ternyata jury memutus banyak yang berpihak padanya. Tanda-tanda Socrates bakal bebas, sudah didepan mata. Namun, sejumlah praktisi hukum, tersinggung dengan omongan Socrates tadi. Walau voting jury memenangkan Socrates, tapi dia tetap dihukum. Socrates di vonis mati.
Tapi, ada juga yang meriwayatkan lain. Kala vonis terjadi, Socrates disodori dua opsi. Dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya.
Namun Socrates memang gila. Dia memilih opsi yang pertama. Hidup bukan jadi barang berharga buatnya. Yang terpenting ajar prinsip yang mesti ditegakkan dengan benar. Para sahabatnya, bingung dengan pilihan Socrates tadi. Mereka tetap berusaha membebaskannya. Tapi dasar Socrates memang gila. Dia tak tergoda. Socrates tetap bersikeras hidup dalam penjara, dengan pilihannya tadi. Karena dia memegang teguh apa yang pernah diucapkan pada murid-muridnya. Katanya, “hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya”.
Waktu eksekusi, dilakukan dalam penjara. Eksekusi mati buatnya, tetap diberi pilihan agar dia bisa bebas dari hukuman. Racun disediakan dalam dua cawan. Petugas penjara menyodorinya tiga cawan. Socrates diminta membuat satu pilihan soal cawan yang harus diminumnya. Salah satu cawan, kosong tanpa racun. Dua lainnya, berarti racun yang harus ditenggak. Socrates pun memilih.
Dia sempat berpikir beberapa detik saja. Tiga cawan disusun berjejer tiga didepannya. Tangannya tanpa ragu memilih cawan yang ada disisi paling kanan. Setelah dibuka, ternyata isinya racun yang mesti ditenggak. Socrates bukan mundur. Racun itu tetap diminumnya. Socrates pun mati seketika. Karena, hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar