Pada tanggal 18 September 1931, sekelompok tentara Jepang yang ditempatkan di Manchuria (Provinsi di Cina Utara), yang menyamar seperti bandit Cina, meledakkan beberapa meter dari rel kereta api milik South Manchurian Railway (perusahaan kereta api yang dikendalikan Jepang. Insiden terencana tersebut digunakan sebagai alasan untuk melancarkan serangan oleh Tentara Kwantung (Tentara Jepang di Cina), yang bertujuan untuk menguasai seluruh provinsi dan membawa sumber daya alam yang melimpah di bawah kendali Jepang. Ini adalah awal dari suatu dekade penuh kekerasan yang akan berujung pada serangan Jerman atas Polandia dan memulai Perang Dunia II.
Dalam bulan-bulan penyerangan Jepang ke Manchuria, keadaan politik dan hubungan internasional dalam keadaan memprihatinkan. Liga Bangsa-Bangsa tidak dapat berbuat banyak untuk China dari agresi Jepang, dan pada Februari 1933 bahkan Jepang keluar dari Liga Bangsa Bangsa. Kaum politikus dan pimpinan militer frustrasi dan kecewa oleh tatanan politik dan ekonomi internasional yang memberi status kelas dua terhadap Jepang. Kemerosotan ekonomi global memukul Jepang dengan keras, dan produk-produk Jepang dikeluarkan dari beberapa pasaran. Ekonomi dunia tampaknya diatur untuk menguntungkan kekuatan-kekuatan imperialis besar dan menyudutkan negara yang disebut “have not” (tidak punya) kekuasaan – negara yang miskin persediaan bahan baku, sebuah kerajaan kolonial sederhana, dan dengan ketidakseimbangan antara populasi dan wilayah.
Jepang adalah negara pertama yang bertindak menyimpang dari tatanan yang ada. Diktator Italia Benito Mussolini menginginkan revolusi internasional dengan apa yang disebut “proletarian states ” melawan “plutocratic powers”, yaitu Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Dari 1932, ia menggagas rencana untuk menaklukkan Abyssinia (sekarang Ethiopia) negara merdeka di Benua Afrika, dan pada Oktober 1935 pasukan Italia menyerbu Abyssinia, dan selesai pada Mei 1936. Kali ini Liga Bangsa Bangsa memberikan sangsi ekonomi dengan setengah hati pada Itali. Pada bulan Desember 1937, Italia juga keluar dari Liga Bangsa Bangsa.
Perkembangan kekuatan Nazi Jeman dari Adolf Hitler yang semakin kuat dan pergerakan kaum nasionalis fanatik, menjadi ancaman nyata bagi stabilitas jangka panjang tatanan internasional. Partai Sosialis Nasional menolak memenuhi Perjanjian Versailles, mengecam keras ekonomi internasional (berhubungan dengan kekuatan keuangan Yahudi), dan membangun kembali kekuatan militer Nazi Jerman untuk menaklukkan dunia. Pada tanggal 30 Januari 1933, Adolf Hitler diangkat menjadi kanselir. Selama enam tahun berikutnya, ia adalah kekuatan dibalik penolakan publik terhadap penyelesaian perdamaian dan perluasan pengaruh politik dan ekonomi Jerman di Eropa.
Adolf Hitler meyakini bahwa Nazi Jerman adalah termasuk dalam kekuatan “have not”. Ia mengadopsi ide populer Lebensraum (ruang hidup) sebagai pembenaran bagi perluasan wilayah Jerman dan perebutan sumber daya ekonomi baru. Dia juga yakin bahwa Nazi Jerman mewakili sebuah budaya atau ras unggul dan ditakdirkan untuk mendominasi ras yang lebih rendah. Ia berpendapat kelemahan Nazi Jerman dalam menghadapi pengaruh dan kekuasaan orang Yahudi internasional, menahan pertumbuhan ekonomi Jerman, memperlemah orang-orang Jerman, dan merusak warisan budaya Jerman. Perpaduan opini dan prasangka buruk ini menjadi dasar dari kebijakan luar negeri Jerman.
Pada awal 1935, Adolf Hitler secara terbuka mengumumkan program rahasia pembangunan persenjataan kembali telah berlangsung sejak 1920-an. Pada bulan Maret 1936, ia memerintahkan pasukan militer Jerman untuk menempati daerah Rheinland yang merupakan daerah bebas militer. Tindakan ini bertentangan dengan Perjanjian Locarno dan Perjanjian Versailles. Pada tanggal 5 November 1937, ia mengumumkan kepada komandan militer niatnya menyatukan Austria dengan Nazi Jerman dan menguasai negara Cekoslowakia sebagai pendahuluan untuk perang yang lebih luas. Pada tanggal 12 Maret 1938, pasukan Jerman memasuki Wina dan disambut antusias penduduknya. Liga Bangsa Bangsa dan seluruh dunia tidak melakukan apa pun, seperti yang telah terjadi atas Manchuria dan Abyssinia.
Pada pertengahan 1930-an, terdapat jurang yang memisahkan antara tiga kekuatan revisionis – Nazi Jerman, Italia, dan Jepang – dengan kekuatan besar negara-negara demokrasi yang telah mendominasi tatanan dunia di tahun 1920. Pada bulan November 1936, Nazi Jerman dan Jepang menandatangani Anti-Comintern Pact (Pakta Anti-Komunis), yang diarahkan pada perjuangan internasional melawan komunisme, setahun kemudian, Benito Mussolini menandatangani juga.
Ketiga negara ingin memperingatkan kekuatan Barat bahwa mereka melihat diri mereka sebagai sebuah blok fasis, tidak hanya untuk menentang komunisme, tetapi untuk demokrasi liberal Barat juga. Blok ini dibuat eksplisit dengan pecahnya perang sipil di Spanyol pada bulan Juli 1936. Dengan kekuatannya Nazi Jerman dan Italia berkomitmen untuk membantu pemberontak nasionalis di bawah Jenderal Francisco Franco. Inggris dan Prancis memimpin gerakan noninterventionist yang memperlemah pemerintahan republik yang sah dan membuka kelemahan dan ketidakpastian Barat.
Untuk Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, arsitek utama dari tatanan internasional pasca Perang Dunia I, sulit untuk menemukan jalan keluar menghadapi krisis internasional. Meraka tidak berani mengambil resiko terjadinya perang besar setelah PD I, tetapi tidak ada juga tindakan untuk mencegah tatanan dunia ke dalam kekacauan. Ada tekanan kuat terhadap kebijakan luar negeri aktifnya. Kerajaan Inggris dan Perancis sibuk menghadapi gerakan nasionalis anti-kolonialisme di India, Indocina, Timur Tengah, dan Afrika.
Di Palestina, Inggris dipaksa untuk menggelar pasukan dalam jumlah besar untuk menjaga perdamaian antara Arab dan mayoritas penduduk Yahudi, yang telah menjanjikan tanah air Yahudi di akhir Perang Dunia I. Di India, yang terkenal sebagai permata di Kalangan Kerajaan Inggris, kaum nasionalis populer – terinspirasi oleh perlawanan tanpa kekerasan Mohandas Gandhi – memaksa pemerintah Inggris untuk memberikan limited self-government (pemerintahan terbatas) dengan India Act of 1935 (undang-undang untuk India tahun 1935).
Meskipun pemimpin Inggris dan Perancis telah mengambil garis lebih aktif dalam politik luar negerinya, lobi-lobi domestik yang kuat mendorong pasifisme. Ketika sebuah pemerintahan kiri terpilih di Perancis pada tahun 1936 di bawah slogan dari Front Populer, satu juta Prancis berbaris di jalan-jalan Paris menuntut perdamaian. Pada tahun 1934 warga Inggris mendirikan Peace Pledge Union, yang selama lima tahun ke depan menjadi sebuah gerakan massa yang berkampanye menentang perang. Sampai akhirnya Nazi Jerman tampak sebagai ancaman yang sangat nyata pada tahun 1939, gerakan damai menghadapi fasisme harusdiubah menjadi dengan lebih keras.
Isu utama yang kedua adalah sikap dari dua raksasa ekonomi dan militer potensial tahun 1930-an, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Hanya satu dekade kemudian, kedua negara akan menjadi negara adidaya dunia. Namun pada tahun 1930-an, mereka memainkan peran yang lebih terbatas, dan kekuatan militer mereka lebih bersifat defensif. Di Amerika Serikat, dampak dari Great Depression setelah 1929 mendorong suasana isolasionisme. Ketika Franklin Delano Roosevelt dari Partai demokrat terpilih sebagai presiden pada tahun 1932, ia menjanjikan “New Deal” bagi penduduk miskin Amerika. Prioritas pertamannya adalah untuk menyembuhkan Amerika dan menghindari segala politik internasional yang mempengaruhi prioritas tersebut.
Kongres menerapkan Undang-Undang Netralitas pada tahun 1935 untuk sementara, kemudian mengesahkan undang-undang permanen pada tahun 1937 yang dirancang untuk mencegah Amerika Serikat dari pemberian uang, bantuan ekonomi, atau bantuan lain untuk negara lain. Meskipun negarawan Amerika tetap cemas terhadap ambisi Jepang di Pasifik, dan bersimpati terhadap perlawanan Cina, Amerika tidak melakukan apapun untuk menghambat agresi Jepang. Presiden Franklin Delano Roosevelt secara pribadi bermusuhan dengan Nazi Jerman dan fasisme, tapi ia merasa krisis ekonomi negaranya sangat menguras konsentrasi, meskipun keterlibatan Amerika dalam urusan Eropa itu perlu untuk keamanan Amerika.
Uni Soviet adalah kekuatan yang tidak dikenal dan berpotensi berbahaya. Meskipun ancaman Komunis hanya timbul sebentar selama tahun 1930-an, negara-negara Barat sadar bahwa Komunis dalam jangka panjang selalu mencoba melakukan subversi terhadap sistem sosial dan politik Barat. Pada 1930, Uni Soviet memulai program industrialisasi besar-besaran dan penguatan persenjataan kembali, yang membuat Rusia menjadi negara ekonomi industri terbesar ketiga dalam tahun 1939 dan, di atas kertas, kekuatan militernya terbesar di dunia. Namun, pemimpin Soviet Joseph Stalin berkonsentrasi pada membangun sistem baru di Soviet dan menghadapi sisa-sisa musuh dalam negeri (musuh revolusi) daripada bertindak lebih tegas dalam urusan internasional. Soviet tidak ingin perang, dan berharap untuk meminimalkan risiko.
Pada bulan September 1934, Uni Soviet mengakui adanya Liga Bangsa Bangsa. Namun, tidak seperti fasis, Komunis tidak mempercayai para pemimpin demokrasi. Inggris dan Perancis telah waspada sepanjang tahun 1930-an dari setiap komitmen Uni Soviet. Meskipun pakta saling membantu ditandatangani antara Perancis dan Uni Soviet pada Mei 1935, tetapi pakta tersebut tiak sampai menyentuh ranah militer.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencari cara untuk menjaga Nazi Jerman, Italia, dan Jepang dalam struktur kekuasaan yang ada. Pada tahun 1935 Inggris dan Jerman menandatangani Perjanjian Laut Anglo-Jerman, yang melegitimasi pembangunan kembali angkatan laut Jerman, meskipun Nazi Jerman menghianatinya tahun itu juga. Baik Inggris maupun Perancis menyadari adanya risiko perang dengan adanya intervensi negara-negara fasis terhadap perang saudara di Spanyol. Jepang bertempur sendirian di Timur Jauh, menghadapi Cina dengan sedikit bantuan. Namun demikian, baik Inggris dan Perancis menyadari bahwa perang adalah sebuah kemungkinan yang kuat, dan takut perang adalah elemen utama dalam budaya politik populer bangsa-bangsa pada 1930-an. Dari tahun 1936 kedua negara tersebut memulai program persenjataan kembali untuk menghadapinya.
Keragu-raguan Barat mendorong kekuatan revisionis untuk menekan. Jepang memulai perang skala penuh dengan Cina pada tahun 1937 dan menaklukkan banyak daerah pesisir timur China pada tahun 1938. Di Eropa, pada Mei 1938 Adolf Hitler memerintahkan para Jendralnya untuk merencanakan perang melawan Cekoslovakia pada musim gugur dengan dalih membebaskan masyarakat berbahasa Jerman di Sudetenland dari dominasi Ceko. Tapi ketika tekanan Jerman mencapai puncaknya di musim panas, Inggris dan Perancis campur tangan. Neville Chamberlain, Perdana Menteri Inggris, terbang ke Jerman untuk bertemu dengan Adolf Hitler dan membuat kesepakatan. Hasilnya adalahPerjanjian Munich ditandatangani pada tanggal 30 September 1938. Sudetenland diberikan kepada Nazi Jerman, perang dapat dihindari. Selain itu, kehancuran Ceko akibat penyerangan Adolf Hitler yang telah menjadi tujuan awalnya dapat dihindari. Inilah bukti lagi trauma pihak Barat akan terjadinya perang lagi.
Kecewa karena kegagalannya berperang dengan Ceko pada tahun 1938, Adolf Hitler menambah dalam daftarnya Inggris dan Perancis sebagai musuh potensial. Tapi ia kembali ke rencana semula untuk pergi ke timur, mencaplok sebagian besar Cekoslowakia pada Maret 1939, dimana sebelumnya bersikeras bahwa daerah Memel dan Danzig dibawah kekuasaan Lithuania dan Polandia untuk diserahkan menjadi dalam wilayah orbit Jerman. Hanya Polandia yang menolak untuk menyerahkannya ke Jerman, sehingga Adolf Hitler memutuskan untuk menyerangnya meskipun Polandia didukung oleh Inggris dan Perancis. Menanggapi respon dari Moskow atas tindakannya, Hitler membuat sebuah perjanjian rahasia dengan Uni Soviet untuk membagi Eropa Timur dengan asumsi bahwa ia akan mampu menaklukkannya dan setelah mengalahkan kekuatan Barat.
Pada musim dingin 1938-1939, Inggris dan Perancis memutuskan bahwa jika Jerman menyerang negara manapun yang membela dirinya sendiri, mereka akan bergabung membantu negara tersebut dalam pertahanan. Dengan harapan sikap ini mungkin menghalangi Nazi Jerman, mereka secara publik berjanji untuk membela Rumania, Polandia, dan Yunani, tetapi Nazi Jerman terus berjalan tidak bergeming.
Pada tanggal 31 Agustus, walaupun ada komitmen dari Inggris dan Perancis untuk mendukung Polandia, Adolf Hitler memerintahkan untuk memulai penyerangan berikutnya. Heinrich Himmler, kepala keamanannya, mengulangi apa yang dilakukan tentara Jepang di Manchuria pada tahun 1931 dengan melakukan tindakan provokasi palsu (seolah-olah Jerman yang diserang). Dengan dalih untuk membalas Jerman maju perang menyerang Polandia pada pagi hari tanggal 1 September 1939.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar